BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah Negara di Asia
Tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan
Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia negara
kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.487 pulau, oleh karena itu ia
di sebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Dengan populasi sebesar 222
juta jiwa pada tahun 2006. Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat
di dunia dan negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, meskipun secara
resmi bukanlah negara Islam (http://id.wikipedia.org/wiki/indonesia :
2012).
Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan memiliki
banyak kebudayaan. Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai
usaha budinya rakyat Indonesia secara keseluruhan. Sebagaimana kita ketahui
masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan
demikian, tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak
ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya.
Sir Edward Tylor
(1871,vol. 1, hal. 1), menyebut “kebudayaan adalah
kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat
istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh
seseorang sebagai anggota masyarakat.” Bila dinyatakan secara lebih sederhana,
kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara
sosial oleh para anggota suatu masyarakat (Paul
B. Horton dan Chester L. Hunt, 1984 ; 58 ).
Hal
ini mencerminkan arti bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, kita
tidak mengenal istilah budaya mayoritas dan minoritas, maju atau terkebelakang,
tinggi atau rendah. Seluruh budaya suku bangsa dalam posisi sama, setara, dan
dari pengakuan seperti itu akan tercipta iklim kehidupan saling menghargai dan
saling menghormati. Walaupun secara teoritis dan untuk kepentingan
analitis,kedua persoalan tersebut dapat dibedakan dan dipelajari secara
terpisah . Kondisi sosial budaya suatu masyarakat sangat erat kaitannya dengan faktor
geografis, kependudukan, dan sejarah masyarakat yang bersangkutan.
Keluarga
merupakan contoh versi masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa individu
yang mendiami suatu tempat tertentu dengan tujuan yang sama, dan memiliki norma
dan aturan yang terbentuk didalamnya apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi.
Semua umat manusia memiliki keluarga dan
menpunyai keinginan yang sama yaitu
hidup layak dan berkembang mengikuti zaman di era serba modern sekarang ini.
Keluarga
adalah suatu sistem norma dan tata cara yang diterima untuk menyelesaikan
sejumlah tugas penting. Suatu keluarga mungkin merupakan ;
1) Suatu
kelompok yang mempunyai nenek-moyang yang sama
2) Suatu
kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah atau perkawinan
3) Pasangan
perkawinan dengan atau tanpa anak
4) Pasangan
tanpa nikah mempunyai anak
5) Satu
orang dengan beberapa anak
Biro
sensu Amerika serikat mendefinisikan sebuah keluarga sebagai “dua orang atau
lebih yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, adopsi dan tinggal bersama
dalam suatu rumah tangga Paul B. Horton
dan Chester L. Hunt ( 1984 ; 267-268).
Keluarga mempunyai beberapa fungsi
yaitu sebagai berikut :
Ø Fungsi
Pengaturan Seksual
Ø Fungsi
Reproduksi
Ø Fungsi
Sosialisasi
Ø Fungsi
Afeksi
Ø Fungsi
Penentuan Status
Ø Fungsi
perlindungan
Ø Fungsi
ekonomis
Dari
beberapa pengertian keluarga dan fungsinya bisa dipahami bahwa manusia nantinya
pasti memiliki keluarga dan anaknya akan membentuk keluarga lagi sampai di anak
cucu dan kegenerasi berikutnya karena manusia itu membutuhkan pasangan hidup
dan generasi penerusnya yaitu seorang anak banyak keluarga yang tidak mempunyai
anak pasti mencari altarnatif lain untuk mendapatkan anak, bisa dengan adopsi,
bayi tabung, semua itu dilakukan bahwa orang tua dimana pun.
Diperkotaan
sebuah keluarga sangat mempengaruhi hubungan antara orang tua dan anaknya, baik kaya maupun miskin, yang
kaya anaknya sangat diutamakan dan dimanjakan dengan
fasilitas, namun keluarga yang miskin kebanyakan memanfaatkan anak sehingga menyuruh anak tersebut bekerja dan
anaknya yang memanjakan dan memberi ifasilitas untuk orang tuanya dari hasil
ceripayah anak tersebut, orang semua tahu anak semeskinya seperti itu, namun
layakkah anak usia dini bekerja sebelum waktunya bekerja namun sekarang
kebanyakan orang tua mempekerjakan mereka. Semua anak didunia sama memiliki hak
di Indonesia.
Masalah ketenagakerjaan
anak khususnya masalah ketenagakerjaan anak telah menjadi perhatian dunia yang
merupakan dampak dari permasalahan ekonomi, sosial dan kebudayaan dalam
masyarakat. Menurut Suyanto (2003), pekerja atau buruh anak adalah anak-anak
yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain atau
untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima
imbalan atau tidak. (Darwin. 2006)
Buruh anak atau lazim
dikenal dengan istilah pekerja anak merupakan salah satu fenomena yang meluas
di negara yang berkembang termasuk di Indonesia. Anak-anak yang berusia kurang
dari 14 tahun harus terpaksa bekerja karena masalah ketidak mampuan ekonomi
yang dialami keluarga mereka, budaya dan faktor lainnya. Mereka melakukan
pekerjaan yang membahayakan dan mengancam kehidupan mereka. Mereka tidak
mengenyam pendidikan, mengalami kekerasan fisik, emosional dan seksual. Menurut
International Labor Organization (ILO)
jumlah pekerja anak di dunia mencapai 218 juta anak usia dibawah 18 tahun yang
pergi bekerja setiap harinya, tujuh persen berada di Amerika Latin, 18 persen
berada di Asia dan 75 persen berada di Afrika.
Keberadaan pekerja anak ini tidak lepas dari adanya
masyarakat miskin di Indonesia. Masyarakat miskin baik yang tinggal di desa
maupun di kota harus bekerja keras untuk meningkatkan kehidupan atau
memperbaiki nasibnya. Dalam banyak kasus, walaupun telah bekerja dengan jam
kerja yang relative panjang, pendapatan yang diperoleh kelompok miskin masih
tetap relatif rendah. Agar tetap bisa bertahan hidup, keluarga miskin berusaha
mengerahkan seluruh tenaga yang ada untuk mencari nafkah walaupun tenaga
tambahan tersebut adalah anak mereka yang belum dewasa dan siap untuk bekerja.
Maka
dari itu kami kelompok lima (5) ingin membuat makalah yang berjudul
“Anak Bekerja di Bawah Usia Dini” dengan maraknya orang tua yang
mempekerjakan anaknya untuk memenuhi
kebutuhan keluarga.
BAB II
ISI
2.1 Keluarga Dewasa Saat Ini
2.1.1 Jumlah Keluarga
Sudah Menurun
Gerakan Kebebasan Wanita ( Womenn’s
Liberation Movement ) mendorong kaum wanita untuk memandang pemeliharaan anak
sebagai suatu pilihan bukan sebagai suatu kewajiban. Proporsi pasangan yang
menikah untuk tetap tanpa anak meningkat ( Veevers, 1980) dan makin banyak
wanita yang menunda menjadi ibu, dengan kira-kira sepertiga dari mereka baru
mempunyai anak pertama pada usia 25 tahun atau lebih ( Wilkie, 1981). Mengapa
dizaman serba canggih sekarang banyak keluarga yang makin kecil? Alat
kontrasepsi hanyalah merupakan sarana bukan motif. Alat kontrasepsi bukanlah
penyebab keluarga yang lebih kecil seperti tali yang menyebabkan orang mati.
Motivasi untuk menginginkan keluarga
lebih kecil menuntun kita ke sejumlah aspek budaya lain. Pergeseran dari
masyarakat tani, buta huruf, kemasyarakat melek huruf, terspesialisasi dan
terindustrialisasi telah mengubah anak dari modal ekonomi menjadi beban yang
mahal. Pergeseran dalam pola rekreasi, dalam aspirasi pendidikan dan mobilitas
social, serta perubahan konsep hak-hak individu bersatu padu untuk mengekang
jumlah penduduk anak secara menyeluruh. Kini pendapat tradisional bahwa “banyak
anak banyak reski” dan keluarga besar adalah suatu pelayanan luhur terhadap
masyarakat telah diganti dengan pendapat bahwa “banyak anak banyak susah” dan
“melahirkan banyakm anak adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab terhadap
anak dan masyarakat.
Semua pola pikir masyarakat lambat
laun telah berubah tidak lagi berpedoman pada pendapat tradisional baik miskin
maupun kaya, namun tidak lepas dari kenyataannya banyak anak yang lahir tidak
terlalu lama bertemu dengan orang tuanya karena penundaan mempunyai anak
keluarga yang kaya tidak akan terlalu menjadi beban karena orang tuanya pasti
sudah mempersiapkan uang tabungan untuk anaknya besar nanti, namun apa jadi apa
bila masyarakat miskin melakukan hal ini? Apa nantinya yang akan mereka tabung
untuk anaknya? Paling mereka hanya menitipkan atau melanjutkan visi dan misi
yaitu berupa mengalihkan fungsi kinerja yang baru yaitu anaknya. Contoh kasus
gembel atau pemulung di perkotaan dan banyaknya anak lalu lalang dilampu merah
meminta-minta, menjual Koran dan menyemir sepatu, ngamen, menjual gorengan disiang
hari dan malam harinya dan itu semua dilakukan diwaktu jam sekolah.
2.1.2 Keluarga Tanpa
Ayah Atau Ibu (Singgel-Parent) Meningkat
Sepanjang sebagian besar sejarah
zaman dahulu, jumlah anak yang ikut dan dibesarkan oleh ayah dalam keluarga
yang pecah oleh peceraian adalah jauh lebih kecil dari pada jumlah anak yang
ikut ayah akibat kematian ibu. Pada zaman dahulu juga, pandangan bahwa anak
dari orang tua yang cerai “ikut” dengan ibu yang berpenghasilan, jarang
dipersoalkan. Dewasa ini asumsi tersebut dipersoalkan oleh kurang lebih dari
65.000 bapak yang membesarkan anak-anak mereka sendiri Paul B. Horton, 1984
(Sosiologi hlm 280). Sejumlah study nampaknya menunjukkan bahwa para suami juga
dapat membesarkan anak-anak mereka sendiri, walaupun banyak membawa masalah
khusu (Orthner et al., 1976, Dresden, 1976; G. Gollins, 1979).
Contoh kasus dikalangan artis yang
banyak terpecah belah keluarga akibat perceraian seperti Pasha (Vokalis Band
Ungu) dengan kiki, Ahmad Dhani dengan Maya Estianti, Anang dengan Krisdayanti,
itu merupakan keluarga terpecah akibat perceraian dan itu hanya sebagian contoh
umum yang kita ketahui banyak lagi hal diluar sana yang tidak kita ketahui dan terjadi
di masyarakat kita, hanya tidak termediakan oleh media massa.
Dari contoh kasus diatas merupakan
kalangan yang berekonomian berkecukupan, seandainya itu terjadi dikalangan
bawah atau serbakekurangan apa dampak yang akan timbul? Apakah masih bisa
anaknya bersekolah atau berbelanja sesukanya? Pasti sudah terpikir oleh kita
bahwa itu tidak akan terjadi dan apa yang akan terjadi pada anak tersebut?
Mereka akan di suruh untuk bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari
atau ikut bekerja dengan orang tua.
2.2 Menurut Hukum Indonesia
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas)
tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan
melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan,
serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri
dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu
dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah
sampai dengan derajat ketiga.
4. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau
ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya
menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.
6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya
secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
7. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan
fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya
secara wajar.
8. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai
kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa.
9. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung
jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam
lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan
pengadilan.
10. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga,
untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan,
karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh
kembang anak secara wajar.
11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh,
mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai
dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.
12. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib
dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat,
pemerintah, dan negara.
13. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan
organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
14. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi
profesional dalam bidangnya.
15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada
anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari
kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya
(napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan
baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan
salah dan penelantaran.
16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
17. Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat
dan Pemerintah Daerah.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan
berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi
Hak-Hak Anak meliputi:
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
Pasal 3
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak
anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari
kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas,
berakhlak mulia, dan sejahtera.
BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN ANAK
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan
status kewarganegaraan.
Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang
tua.
Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan,
dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin
tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut
berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan
sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.
Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam
rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat
dan bakatnya.
(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus
bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa,
sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan
khusus.
Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,
mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya
demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.
Pasal 11
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu
luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi
sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.
Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi,
bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau
pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat
perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik
ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan,
dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya.
(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala
bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali
jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu
adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Pasal 15
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.
Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran
penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan
hukum.
(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya
dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
Pasal 17
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
a. mendapatkan perlakuan
secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
b. memperoleh bantuan hukum
atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang
berlaku; dan
c. membela diri dan
memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak
dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual
atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.
Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak
mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.
Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
2.3
Berbagai sudut pandang terhadap anak
2.3.1 Pandangan Mansur Terhadap Anak Usia
Dini
ü Anak
sebagai Orang Dewasa Mini
Anak dipandang sebagai orang dewasa dalam bentuk mini, terutama di
Eropa pada abad pertengahan. Yang membedakan anak dengan orang dewasa hanya
ukuran dan usianya saja, justru anak diharapkan bertingkah laku sebagai orang
dewasa. Bahkan di berbagai dunia ketiga, yakni di Amerika Latin dan Asia,
anak-anak diharapkan produktif secara ekonomi. Anak-anak menjadi anggota
keluarga yang ikut bekerja sebagaimana orang dewasa yang lain, walaupun usia
mereka masih empat, lima, atau enam tahun. Mendorong anak bertingkah laku
seperti orang dewasa dapat menimbulkan konflik antara harapan dan kemampuan.
Apabila pendidik menuntut anak bertingkah laku seperti orang dewasa, berarti
itu berbeda dari kenyataannya sebagai anak, sehingga harapan para pendidik
seperti itu berarti tidak realistis.
ü Anak
sebagai Orang yang Berdosa
Sejak abad
ke-14 sampai 18 terdapat pandangan bahwa anak sebagai orang yang berdosa,
tingkah lakunya yang menyimpang merupakan dosa keturunan. Apabila anak
bersalah, maka orang tua menganggap perbuatan anak adalah dosa. Pandangan itu
terus menetap dan muncul dalam kepercayaan orang tua. Untuk itu tingkah laku
anak harus selalu dikontrol dengan keras melalui pengawasan yang sangat ketat.
Anak tidak boleh membantah dan harus patuh kata-kata orang tua. Institusi
pendidikan pada saat itu adalah sebagai tempat untuk mengajarkan tingkah laku
yang benar. Orang tua sangat berminat untuk memasukkan anaknya ke sekolah
karena orang tua merasa kurang mampu menghindarkan anak dari godaan minuman
keras dan bentuk kriminalitas lainnya. Pada masa itu banyak sekolah milik
perorangan yang berorientasi pada agama, yang pada prinsipnya menekankan
penanaman rasa hormat, patuh, dan bertingkah laku yang baik.
ü Anak
sebagai Tanaman yang Tumbuh
Peranan
pendidik atau orang tua dalam hal anak sebagai tanaman yang tumbuh adalah
sebagai tukang kebun, dan sekolah merupakan rumah kaca di mana anak tumbuh dan
matang sesuai dengan pola pertumbuhannya yang wajar. Sebagai tukang kebun,
pendidik atau orang tua berkewajiban untuk menyirami, memupuk, merawat, dan
memelihara tanaman yang ada dalam kebun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai
pendidik harus melaksanakan proses pendidikan agar dapat meningkatkan
pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Dapat dikatakan, bahwa apa yang
terjadi pada anak tergantung pada pertumbuhan secara wajar dan lingkungan yang
memberikan perawatan. Pertumbuhan yang alami adalah kegiatan bermain dan
kesiapan atau proses kematangan. Isi dan proses belajar terkandung dalam
kegiatan bermain dan materi serta aktivitas dirancang untuk kegiatan bermain
yang menyenangkan dan tidak membahayakan.
Pada masa
anak-anak yang umumnya siap untuk belajar adalah melalui motivasi dan bermain.
Hal itu menunjukkan bahwa anak-anak akan siap untuk dikembengkan
keterampilannya apabila telah mencapai suatu tingkatan di mana merek dapat
mengambil keuntungan dari suatu instruksi yang tepat. Setiap anak mempunyai
jadwal kematangan berbeda dan merupakan faktor bawaan. Masing-masing anak
berbeda waktunya, maka hendaknya sebagai orang tua dan pendidik tidak
memaksakan anak untuk belajar sesuatu apabila belum siap. Apabila anak belum
siap belajar menunjukkan bahwa anak itu belum matang, proses yang alami belum
terjadi. Oleh karena itu, orang tua hendaknya selalu memberi motivasi dalam
kegiatan bermain untuk mengembangkan keterampilan anak.
ü Anak
sebagai Makhluk Independen
Walaupun anak
dilahirkan oleh orang tua, namun pada hakikatnya anak merupakan individu yang
berbada dengan siapa pun, termasuk dengan kedua orang tuanya, Bahkan anak juga
memiliki takdir tersendiri yang belum tentu sama dengan orang tua. Dengan
demikian maka jelaslah bahwa anak pada hakikatnya adalah makhluk independen.
Hal ini perlu disadari sehingga orang tua tidak berhak memaksakan kehendaknya
kepada anak. Biarkan anak tumbuh dewasa sesuai dengan suara hati nuraninya,
orang tua hanya memantau dan mengarahkan agar jangan sampai menyusuri jalan
hidup yang sesat. Orang tua hanya berkewajiban berusaha, yakni mengusahakan
agar anak tumbuh dewasa menjadi pribadi saleh dengan merawat, mengasuh dan
mendidiknya dengan pendidikan yang benar.
ü Anak
sebagai Nikmat, Amanat, dan Fitnah Orang Tua
Alangkah
prihatinnya sepasang suami-istri yang berpuluh-puluh tahun atau bahkan hingga
akhir hayatnya tidak dikaruniai anak. Bagi pasangan suami-istri yang tidak
dikaruniai anak, niscaya sangat terasa belum lengkap tanpa kehadiran anak dalam
rumah tangga yang dibinanya. Tidak ada tangis bayi, tiada tawa anak-anak,
tak pernah dimintai uang jajan, tiada yang meminta dibelikan pakaian seragam,
tidak pernah memikirkan anaknya harus ke mana dan tak pernah memberikan
bimbingan agar anak-anak kelak harus begini atau begitu. Suasana keluarga
terasa sangat hampa dan kurang lengkap, maka kebahagiaan keluarga terasa ada
saja yang kurang.
Dengan
hadirnya anak di tengah-tengah pasangan suami-istri, maka jalinan kasih di
antara mereka akan semakin kuat. Tidak sedikit pasangan suami istri yang
berpisah di tengah jalan, kemudian bersambung kembali lantaran masing-masing
teringat dengan anak mereka. Sebaliknya tidak jarang pula pasangan suami-istri
yang demikian rujuk dan penuh kasih sayang, tiba-tiba bercerai lantaran tidak
hadirnya satu anak pun di tengah-tengah mereka. Buah hati yang mereka dambakan
tak pernah hadir dalam kenyataan. Anak memang benar-benar merupakan sumber
kebahagiaan keluarga, buah hati yang memperkuat tali kasih kedua orang tuanya
dan mampu membahagiakan segenap sanak saudara. Dapat dikatakan bahwa anak
laksana wewangian surga yang menyemarakkan suasana kebahagiaan sebuah keluarga.
Oleh karena itulah hendaknya orang tua menyadari pula akan kewajiban dan
tanggung jawabna terhadap anak. Anak memerlukan perawatan, asuhan, bimbingan,
dan pendidikan yang benar demi kelangsungan hidupnya.
Anak hanya
akan terlahir dari pasangan suami-istri manakala Tuhan menciptakan dan
berkehendak untuk mengaruniakan kepada pasangan yang bersangkutan. Jika Tuhan
tidak menciptakan dan tidak berkehendak untuk mengarunikan kepada sebuah
pasangan suami-istri, mereka tidak akan menghasilkan keturunan untuk
selama-lamanya. Maka, bagi pasangan suami-istri yang mampu melahirkan anak
hendaknya menyadari betul bahwa anaknya itu semata-mata merupakan karunia
Tuhan. Banyak orang yang sudah lama menikah dan ingin mempunyai anak, tetapi
tidak diberi anak oleh Tuhan. Jadi, anak merupakan nikmat Tuhan yang begitu
tinggi nilainya, maka haruslah disyukuri dengan membina dan mendidik anak
sebaik-baiknya.
Sebagai orang
tua haruslah menyadari bahwa disamping anak menjadi nikmat, juga merupakan
fitnah bagi orang tuanya jika tidak mampu menjaganya. Bahkan kadang anak juga
bisa menjadi fitnah lantaran terdapat kekurangan atau kelemahan pada anak itu
sendiri yang akan mengakibatkan fitnah bagi orang tuanya terlebih jika tidak
dilandasi dengan iman dan takwa. Oleh karena itu, sebagai orang tua hendaklah
mendidik anak dengan sebaik-baiknya agar tidak menjerumuskan orang tua dan anak
itu sendiri.
Setiap orang
tua muslim hendaknya menyadari bahwa anak adalah amanat Tuhan yang dipercayakan
kepada orang tua. Dengan demikian orang tua muslim pantang mengkhianati amanat
Tuhan berupa dikaruniakannya anak kepada mereka. Di antara sekian perintah
Tuhan berkenaan dengan amanatNya yang berupa anak adalah bahwa setiap orang tua
muslim wajib mengasuh dan mendidik anak-anak dengan dengan baik dan benar. Hal
itu dilakukan agar tidak menjadi anak-anak yang lemah iman dan lemah kehidupan
duniawinya, namun agar dapat tumbuh dewasa menjadi generasi yanh saleh,
sehingga terhindar dari siksa api neraka. Jika para orang tua benar-benar
menempuh jalan yang benar dalam mengemban amanat Tuhan, yakni mendidik
anak-anak mereka dengan baik dan benar, niscaya fitrah islmiah anak akan tumbuh
dan dan lebih bisa diharapkan dapat masuk surga. Sebaliknya jika orang tua
lengah dalam mengemban amanat Tuhan, maka fitrah islamiah anak akan tercoreng
atau bahkan hilang sama sekali dan tergantikan oleh akidah lain. Dengan
demikian yang harus ditata dan ditingkatkan adalah kadar iman dan takwanya
kepada Tuhan.
ü Anak
sebagai Milik Orang Tua dan Investasi Masa Depan
Pandangan anak sebagai investasi
telah ada sejak abad pertengahan. Banyak orang tua mempunyai pandangan, setelah
mereka tua atau meninggal dunia, maka anak adalah penggantinya. Pada tahun
60-an berbagai program yang berlatarbelakang pentingnya anak sebagai investasi,
berkembang di berbagai negara bagian Amerika, yakni program kesejahteraan anak
berdasarkan pandangan anak sebagai investasi. Umumnya program-program tersebut
berpandangan bahwa investasi yang paling berharga bagi negara adalah anak-anak.
Anak adalah milik orang tua atau institusi, sehingga orang tua mempunyai hak
atas diri anak. Hukum melindungi anak-anak dari hukum fisik dan perlakuan salah
secara emosional. Orang tua harus memasukkan anak ke sekolah sesuai
undang-undang wajib belajar bagi anak. Orang tua seringkali menganggap bahwa
dia boleh melakukan apa saja terhadap anaknya karena berpendapat bahwa anak
adalah miliknya. Namun anak adalah milik Tuhan, sedangkan orang tua adalah
orang yang dipercaya dan diberi amanat oleh Tuhan untuk mendidiknya sehingga
tidak boleh memperlakukan seenaknya sesuai kehendak dirinya, apalagi tidak
sesuai dengan ajaran agama. Anak sebagai investasi masa depan sangat dekat
hubungannya dengan anak sebagai milik orang tua yang berkaitan dengan masa
depan keluarga dan bangsa.
ü Anak
sebagai Generasi Penerus Orang Tua dan Bangsa
Dengan
hadirnya anak, maka orang tua merasa ada pihak yang akan meneruskan garis
keturunannya. Garis keturunan tidak akan terputus dan kelangsungan hidup
manusia pada umumnya akan lebih terjamin. Sebagai orang tua, tentunya menyadari
betul akan pentingnya garis keturunan. Anak keturunannya akan lebih bisa
diharapkan menjadi generasi penerus.
Di samping
itu, setiap orang tua tentu menyadari betul bahwa anak adalah pelestari pahala.
Jika anak tumbuh dewasa menjadi generasi yang saleh, maka anak dapat
mengalirkan pahala walaupun orang tuanya sudah meninggal dunia. Berarti jika
anak tidak menjadi generasi yang saleh, maka siksaan akan mengalir pula
walaupun orang tuanya telah meninggal dunia. Maka betapa sengsara para orang
tua yang meninggalkan anak-anak tidak saleh. Dengan demikian apabila para orang
tua muslim benar-benar menyadari hakikat anak mereka yang dapat melestarikan
pahala dan juga melestarikan siksa, niscaya akan bangkitlah semangat untuk lebih
waspada terhadap pendidikan anak-anak yang hendak mereka tinggalkan sebagai
generasi penerus itu menjadi generasi lemah iman, akibatnya akan memberikan
siksaan bagi orang tuanya.
Dalam GBHN
telah dijelaskan bahwa anak merupakan generasi penerus bangsa dan sumber insan
bagi pembangunan nasional, maka harus diperhatikan dan dibina sedini mungkin
agar menjadi insan yang berkualitas dan berguna bagi bangsa. Sebagai orang tua,
haruslah mempunyai tujuan dan berikhtiar agar anak di masa depan mempunyai kualitas
yang lebih tinggi dari orang tuanya, minimal sejajar atau sama dengan orang
tuanya. Dengan demikian dia perlu mempersiapkan anak itu sejak dini agar
menjadi manusia unggul.
2.3.2 Pandangan Sejarah Tentang Anak
Setiap orang
mempunyai pandangan dan pikiran yang berbeda menurut zamannya dalam melihat
anak-anak. Zaman Romawi Kuno sampai memasuki zaman pertengahan , misalnya masa
kanak-kanak dirasakan sangat singkat. Seorang anak laki-laki atau perempuan
disebut “bayi” sampai pada usia “enam”. Secara dramastis setelah itu mereka
harus bekerja di ladang, bengkel, atau rumah. Anak-anak terlahir dipandang
membawa dosa turunan dan dianggap sebagai “properti” dari sang ayah. Keyakinan
itu berakibat pada disiplin yang keras dan mengesampingkan kebutuhan mereka.
Perlakuan
“kejam” itu mulai berubah pada zaman renaisans dan pencerahan sebagaimana spirit
kemanusiaan menghendaki anak-anak yang cukup berkualitas. Hal ini dapat dilihat
pada lukisan zaman itu, anak-anak digambarkan sedang bermain, dirawat, dan
melakukan aktivitas kanak-kanak mereka. Sehingga dari lukisan tersebut mereka
tidak dianggap sebagai miniatur orang dewasa.
Kepedulian
terhadap masa kanak-kanak sebagai tahapan yang terpenting dalam perkembangan
manusia sangat dipahami mulai abad 17 dan 18. Hal ini terlihat dari karya-karya
dua pemikir Eropa bernama John Locke seorang filsuf dari Inggris, dan Jean
Jacques Rousseau seorang filsuf dari Prancis. Menurut John Locke (dalam
Wahyudi, 2005: 4) menyatakan bahwa bayi yang baru lahir ke dunia tidak membawa tendensi
tertentu (inherited predispositions), tetapi bagaikan “selembar kertas
putih” atau dalam bahasa Latin disebut “tabula rasa”, kemudian mulai
diisi dengan gagasan, konsep, dan pengetahuan dari pengalaman mereka di dunia.
Dia menyimpulkan bahwa kualitas pengalaman pertama anak-anak tergantung dari
bagaimana mereka ditumbuhkembangkan dan dididik. Hal itu sangat berpengaruh
membentuk hidup anak-anak. Tidak lama kemudian, seorang filsuf dari Perancis
bernama Jean Jacques Rousseau (dalam Wahyudi, 2005: 4) mengemukakan bahwa
anak-anak dilahirkan memiliki fitrah yang baik (innately good), tidak jahat,
dan seharusnya tendensi alamiahnya dilindungi dari pengaruh sosial masyarakat
yang korup. Semenjak itu, inspirasi Rousseau mengubah perlakuan masyarakat
terhadap anak-anak menjadi lebih simpatik dan romantis. Pengaruh dalam
masyarakat zaman itu bisa dilihat dari karya novelis Charles Dickens dan Victor
Hugo, yang mengutuk eksploitasi pekerja anak dan menekankan pentingnya
mereformasi pendidikan dan nilai masyarakat.
2.3.3 Pandangan Modern Tentang Anak
Ada tiga
pandangan yang mendominasi riset-riset tentang perkembangan anak di abad ini.
Para pakar anak menggunakan pendekatan psikoanalis Sigmund Freud
sebagai panduan riset mereka, dan diperluas oleh Erik Erikson untuk
membantu memahami perkembangan kepribadian dan kesulitan emosional anak. Teori
perilaku dan pembelajaran sosial bergantung pada kondisi dan model yang
menjelaskan bentuk-bentuk respons dan penyelesaian masalah perilaku. Teori
fase-fase Jean Piaget tentang perkembangan kognitif, mendobrak
pandangan dunia tentang anak-anak sebagai individu aktif yang bertanggungjawab
pada pembelajaran mereka sendiri.
2.4 Anak bekerja dibawah usia dini
Dalam perkembangannya
pekerja anak tahun 2004 berdasarkan hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional
(SUSENAS) terdapat 1.5 juta anak usia 10 – 14 bekerja aktif. Juga 1.6 juta anak
yang usia 10 – 14 tahun tidak sekolah dan bekerja. Menurut catatan Komnas
Perlindungan Anak, di 33 provinsi, jumlah pekerja anak meningkat pada tahun
2006 jumlahnya mencapai 3,2 juta, dan
menjadi 4,8 juta pada 2007, sedang pada tahun 2008 diperkirakan menjadi 6,3
juta, perkiraan ini berdasarkan pola tahun-tahun sebelumnya. Sekitar 20-30
persen anak putus sekolah masuk ke sektor kerja dan menjadi pekerja, terutama yang
putus sekolah di level SMP. Selain itu, diketahui pula bahwa pada tahun 2006
ada 10,8 juta anak putus sekolah, tahun 2007 sebesar 12,7 juta anak putus
sekolah di jenjang SD hingga SMA/SMK.
Survei Pekerja Anak
(SPA) dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang bekerjasama dengan ILO menemukan
dari 58,8 juta anak Indonesia pada tahun 2009, 1,7 juta jiwa diantaranya
menjadi pekerja anak. Definisi anak dalam survei ini adalah 5-17 tahun atau
berbeda dengan definisi Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakrenas) yang hanya
melihat anak 15-17 tahun. Survei menemukan, setidaknya 674 ribu anak di bawah
13 tahun berstatus bekerja, sekitar 321 ribu anak umur 13-14 tahun bekerja
lebih dari 15 jam per minggu, dan sekitar 760 ribu jiwa anak umur 15-17 tahun bekerja
di atas 40 jam per hari.
Berdasarkan
laporan yang diungkap dalam konferensi PBB mengenai masalah pemukiman (habitat II) di Turki tahun 1996,
diperkirakan pekerja anak rata-rata memberi sumbangan 20 persen bagi ekonomi
keluarganya. Dengan jumlah sebesar itu wajar jika orang tua yang berasal dari
kelas sosial rendah tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka, merelakan
anaknya mencari tambahan penghasilan.
2.4.1
Faktor Ekonomi
Asra (1993) menjelaskan bahwa salah satu faktor utama
adanya pekerja anak adalah faktor ekonomi rumah tangga, pengaruh orangtua dan
rendahnya tingkat pendidikan ayah atau ibu. Secara umum dalam berbagai
penelitian dapat ditunjukkan bahwa penyebab adanya pekerja anak dapat dibedakan
dalam dua faktor :
1)
Faktor pendorong (push
factors) yang cukup meyakinkan seperti : tekanan ekonomi keluarga, adanya
pandangan bahwa bekerja adalah bagian dari proses pendidikan, ingin membantu
ekonomi keluarga, karena sudah tidak sekolah ingin punya penghasilan sendiri.
2)
Faktor penarik (pull
factors) yaitu berupa permintaan terhadap pekerja anak yang sangat tinggi,
disamping faktor lain yakni kelemahan dibidang
Menurut Rodgers dan Standing (1981), rendahnya kehidupan
ekonomi rumah tangga, menyebabkan banyak keluarga yang memerlukan bantuan
mereka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi marjinal. Jika diandaikan anak-anak
tersebut tidak memperoleh perlindungan yang memadai (baik fisik maupun hukum)
mempunyai resiko tinggi putus sekolah, jam kerja panjang dan pekerjaan mereka
tidak menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, maka partisipasi
mereka bekerja menjadi masalah (Manurung, 1998).
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan dan Saran
3.1.1
Kesimpulan
Anak usia
dini dipandang sebagai orang dewasa mini, orang yang berdosa,
tanaman yang tumbuh, makhluk independen, nikmat, amanat, dan fitnah
orang tua, milik orang tua dan investasi masa depan, generasi penerus orang tua
dan bangsa. Dalam pandangan sejarah anak usia dini pada Zaman Romawi Kuno
sampai memasuki zaman pertengahan dipandang membawa dosa turunan dan dianggap
sebagai “properti” dari sang ayah. Perlakuan “kejam” itu mulai berubah pada
zaman renaisans dan pencerahan menghendaki anak-anak yang cukup berkualitas,
mereka tidak dianggap sebagai miniatur orang dewasa. Pada abad 17 dan 18
berpandangan bahwa kualitas pengalaman pertama anak-anak tergantung dari
bagaimana mereka ditumbuhkembangkan dan dididik. Hal itu sangat berpengaruh
membentuk hidup anak-anak.Sedangkan dalam pandangan modern anak usia dini
dipandang sebagai individu aktif yang bertanggung jawab pada pembelajaran
mereka sendiri.
3.1.2
Saran
Untuk pemerintah agar lebih giat
untuk mengatasi anak yang bekerja dibawah usia dini terutama meningkatkan
perekonomian dikalangan masyarakat miskin dengan membuka lapangan pekerjaan
lebih besar agar dapat menyerap tenaga lebih banyak, dan lebih meningkatkan
pendidikan yang berkualitas dengan sibsidi bagi yang kurang mampu.
Diharapkan dikalangan pelajar
S1/S2/S3 dll, se-Indonesia agar lebih
mengutamakan kepentingan bersama untuk membangun negeri dengan cara selesai
wisuda mampu menciptakan lapangan pekerjaan, bukan bersaing untuk menjadi
pegawai (PNS) , siapa lagi yang akan membangunkan negeri kalau bukan dari
kita.Siapa lagi yang bisa menuntaskan kemiskinan di Indonesia ini kalau bukan
kita, siapa lagi yang bisa mengurangi anak yang bekerja dibawah usia dini kalau
bukan kita, yaitu kita yang bisa mementingkan kepentingan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Dadang
Ahmad, Sosiologi Agama, Rosda, Bandung, 2000.
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt,
Sosiologi, Erlangga, Jakarta, 1984.
Su’adah,
Sosiologi Keluarga, UMM Press, Malang, 2005.
0 komentar :
Posting Komentar