Kamis, 25 April 2013

MAKALAH SOSIOLOGI KELUARGA


BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Indonesia adalah Negara di Asia Tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.487 pulau, oleh karena itu ia di sebut juga sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). Dengan populasi sebesar 222 juta jiwa pada tahun 2006. Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat di dunia dan negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, meskipun secara resmi bukanlah negara Islam (http://id.wikipedia.org/wiki/indonesia : 2012).
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang terdiri atas berbagai suku bangsa dan memiliki banyak kebudayaan. Kebudayaan bangsa adalah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budinya rakyat Indonesia secara keseluruhan. Sebagaimana kita ketahui masyarakat adalah orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan. Dengan demikian, tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai kebudayaan dan sebaliknya tidak ada kebudayaan tanpa masyarakat sebagai wadah dan pendukungnya.
Sir Edward Tylor (1871,vol. 1, hal. 1), menyebut “kebudayaan adalah kompleks keseluruhan dari pengetahuan, keyakinan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan semua kemampuan dan kebiasaan yang lain yang diperoleh oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.” Bila dinyatakan secara lebih sederhana, kebudayaan adalah segala sesuatu yang dipelajari dan dialami bersama secara sosial oleh para anggota suatu masyarakat (Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, 1984 ; 58 ).
Hal ini mencerminkan arti bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat, kita tidak mengenal istilah budaya mayoritas dan minoritas, maju atau terkebelakang, tinggi atau rendah. Seluruh budaya suku bangsa dalam posisi sama, setara, dan dari pengakuan seperti itu akan tercipta iklim kehidupan saling menghargai dan saling menghormati. Walaupun secara teoritis dan untuk kepentingan analitis,kedua persoalan tersebut dapat dibedakan dan dipelajari secara terpisah . Kondisi sosial budaya suatu masyarakat  sangat erat kaitannya dengan faktor geografis, kependudukan, dan sejarah masyarakat yang bersangkutan.
Keluarga merupakan contoh versi masyarakat kecil yang terdiri dari beberapa individu yang mendiami suatu tempat tertentu dengan tujuan yang sama, dan memiliki norma dan aturan yang terbentuk didalamnya apabila dilanggar akan mendapatkan sanksi. Semua umat manusia memiliki  keluarga dan  menpunyai keinginan yang sama yaitu hidup layak dan berkembang mengikuti zaman di era serba modern sekarang ini.
Keluarga adalah suatu sistem norma dan tata cara yang diterima untuk menyelesaikan sejumlah tugas penting. Suatu keluarga mungkin merupakan ;
1)      Suatu kelompok yang mempunyai nenek-moyang yang sama
2)      Suatu kelompok kekerabatan yang disatukan oleh darah atau perkawinan
3)      Pasangan perkawinan dengan atau tanpa anak
4)      Pasangan tanpa nikah mempunyai anak
5)      Satu orang dengan beberapa anak
Biro sensu Amerika serikat mendefinisikan sebuah keluarga sebagai “dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan darah, perkawinan, adopsi dan tinggal bersama dalam suatu rumah tangga Paul B. Horton dan Chester L. Hunt ( 1984 ; 267-268).

            Keluarga mempunyai beberapa fungsi yaitu sebagai berikut :
Ø  Fungsi Pengaturan Seksual
Ø  Fungsi Reproduksi
Ø  Fungsi Sosialisasi
Ø  Fungsi Afeksi
Ø  Fungsi Penentuan Status
Ø  Fungsi perlindungan
Ø  Fungsi ekonomis
Dari beberapa pengertian keluarga dan fungsinya bisa dipahami bahwa manusia nantinya pasti memiliki keluarga dan anaknya akan membentuk keluarga lagi sampai di anak cucu dan kegenerasi berikutnya karena manusia itu membutuhkan pasangan hidup dan generasi penerusnya yaitu seorang anak banyak keluarga yang tidak mempunyai anak pasti mencari altarnatif lain untuk mendapatkan anak, bisa dengan adopsi, bayi tabung, semua itu dilakukan bahwa orang tua dimana pun.
Diperkotaan sebuah keluarga sangat mempengaruhi hubungan antara orang tua dan  anaknya, baik kaya maupun miskin, yang kaya  anaknya  sangat diutamakan dan dimanjakan dengan fasilitas, namun keluarga yang miskin kebanyakan memanfaatkan anak  sehingga menyuruh anak tersebut bekerja dan anaknya yang memanjakan dan memberi ifasilitas untuk orang tuanya dari hasil ceripayah anak tersebut, orang semua tahu anak semeskinya seperti itu, namun layakkah anak usia dini bekerja sebelum waktunya bekerja namun sekarang kebanyakan orang tua mempekerjakan mereka. Semua anak didunia sama memiliki hak di Indonesia.
Masalah ketenagakerjaan anak khususnya masalah ketenagakerjaan anak telah menjadi perhatian dunia yang merupakan dampak dari permasalahan ekonomi, sosial dan kebudayaan dalam masyarakat. Menurut Suyanto (2003), pekerja atau buruh anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya, untuk orang lain atau untuk dirinya sendiri yang membutuhkan sejumlah besar waktu, dengan menerima imbalan atau tidak. (Darwin. 2006)
Buruh anak atau lazim dikenal dengan istilah pekerja anak merupakan salah satu fenomena yang meluas di negara yang berkembang termasuk di Indonesia. Anak-anak yang berusia kurang dari 14 tahun harus terpaksa bekerja karena masalah ketidak mampuan ekonomi yang dialami keluarga mereka, budaya dan faktor lainnya. Mereka melakukan pekerjaan yang membahayakan dan mengancam kehidupan mereka. Mereka tidak mengenyam pendidikan, mengalami kekerasan fisik, emosional dan seksual. Menurut International Labor Organization (ILO) jumlah pekerja anak di dunia mencapai 218 juta anak usia dibawah 18 tahun yang pergi bekerja setiap harinya, tujuh persen berada di Amerika Latin, 18 persen berada di Asia dan 75 persen berada di Afrika.
Keberadaan pekerja anak ini tidak lepas dari adanya masyarakat miskin di Indonesia. Masyarakat miskin baik yang tinggal di desa maupun di kota harus bekerja keras untuk meningkatkan kehidupan atau memperbaiki nasibnya. Dalam banyak kasus, walaupun telah bekerja dengan jam kerja yang relative panjang, pendapatan yang diperoleh kelompok miskin masih tetap relatif rendah. Agar tetap bisa bertahan hidup, keluarga miskin berusaha mengerahkan seluruh tenaga yang ada untuk mencari nafkah walaupun tenaga tambahan tersebut adalah anak mereka yang belum dewasa dan siap untuk bekerja.
           
Maka dari itu kami kelompok lima (5) ingin membuat makalah yang berjudul “Anak Bekerja di Bawah Usia Dini” dengan maraknya orang tua yang mempekerjakan anaknya untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
BAB II
ISI

2.1 Keluarga Dewasa Saat Ini
2.1.1 Jumlah Keluarga Sudah Menurun
            Gerakan Kebebasan Wanita ( Womenn’s Liberation Movement ) mendorong kaum wanita untuk memandang pemeliharaan anak sebagai suatu pilihan bukan sebagai suatu kewajiban. Proporsi pasangan yang menikah untuk tetap tanpa anak meningkat ( Veevers, 1980) dan makin banyak wanita yang menunda menjadi ibu, dengan kira-kira sepertiga dari mereka baru mempunyai anak pertama pada usia 25 tahun atau lebih ( Wilkie, 1981). Mengapa dizaman serba canggih sekarang banyak keluarga yang makin kecil? Alat kontrasepsi hanyalah merupakan sarana bukan motif. Alat kontrasepsi bukanlah penyebab keluarga yang lebih kecil seperti tali yang menyebabkan orang mati.
            Motivasi untuk menginginkan keluarga lebih kecil menuntun kita ke sejumlah aspek budaya lain. Pergeseran dari masyarakat tani, buta huruf, kemasyarakat melek huruf, terspesialisasi dan terindustrialisasi telah mengubah anak dari modal ekonomi menjadi beban yang mahal. Pergeseran dalam pola rekreasi, dalam aspirasi pendidikan dan mobilitas social, serta perubahan konsep hak-hak individu bersatu padu untuk mengekang jumlah penduduk anak secara menyeluruh. Kini pendapat tradisional bahwa “banyak anak banyak reski” dan keluarga besar adalah suatu pelayanan luhur terhadap masyarakat telah diganti dengan pendapat bahwa “banyak anak banyak susah” dan “melahirkan banyakm anak adalah tindakan yang tidak bertanggung jawab terhadap anak dan masyarakat. 
            Semua pola pikir masyarakat lambat laun telah berubah tidak lagi berpedoman pada pendapat tradisional baik miskin maupun kaya, namun tidak lepas dari kenyataannya banyak anak yang lahir tidak terlalu lama bertemu dengan orang tuanya karena penundaan mempunyai anak keluarga yang kaya tidak akan terlalu menjadi beban karena orang tuanya pasti sudah mempersiapkan uang tabungan untuk anaknya besar nanti, namun apa jadi apa bila masyarakat miskin melakukan hal ini? Apa nantinya yang akan mereka tabung untuk anaknya? Paling mereka hanya menitipkan atau melanjutkan visi dan misi yaitu berupa mengalihkan fungsi kinerja yang baru yaitu anaknya. Contoh kasus gembel atau pemulung di perkotaan dan banyaknya anak lalu lalang dilampu merah meminta-minta, menjual Koran dan menyemir sepatu, ngamen, menjual gorengan disiang hari dan malam harinya dan itu semua dilakukan diwaktu jam sekolah.

2.1.2 Keluarga Tanpa Ayah Atau Ibu (Singgel-Parent) Meningkat
            Sepanjang sebagian besar sejarah zaman dahulu, jumlah anak yang ikut dan dibesarkan oleh ayah dalam keluarga yang pecah oleh peceraian adalah jauh lebih kecil dari pada jumlah anak yang ikut ayah akibat kematian ibu. Pada zaman dahulu juga, pandangan bahwa anak dari orang tua yang cerai “ikut” dengan ibu yang berpenghasilan, jarang dipersoalkan. Dewasa ini asumsi tersebut dipersoalkan oleh kurang lebih dari 65.000 bapak yang membesarkan anak-anak mereka sendiri Paul B. Horton, 1984 (Sosiologi hlm 280). Sejumlah study nampaknya menunjukkan bahwa para suami juga dapat membesarkan anak-anak mereka sendiri, walaupun banyak membawa masalah khusu (Orthner et al., 1976, Dresden, 1976; G. Gollins, 1979).
            Contoh kasus dikalangan artis yang banyak terpecah belah keluarga akibat perceraian seperti Pasha (Vokalis Band Ungu) dengan kiki, Ahmad Dhani dengan Maya Estianti, Anang dengan Krisdayanti, itu merupakan keluarga terpecah akibat perceraian dan itu hanya sebagian contoh umum yang kita ketahui banyak lagi hal diluar sana yang tidak kita ketahui dan terjadi di masyarakat kita, hanya tidak termediakan oleh media massa.
            Dari contoh kasus diatas merupakan kalangan yang berekonomian berkecukupan, seandainya itu terjadi dikalangan bawah atau serbakekurangan apa dampak yang akan timbul? Apakah masih bisa anaknya bersekolah atau berbelanja sesukanya? Pasti sudah terpikir oleh kita bahwa itu tidak akan terjadi dan apa yang akan terjadi pada anak tersebut? Mereka akan di suruh untuk bekerja agar bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari atau ikut bekerja dengan orang tua.

2.2 Menurut Hukum Indonesia
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERLINDUNGAN ANAK.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga.
4. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat.
5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan asuh sebagai orang tua terhadap anak.
6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.
7. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara wajar.
8. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa.
9. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.
10. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar.
11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik, memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya.
12. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.
13. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial dan/atau organisasi kemasyarakatan.
14. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional dalam bidangnya.
15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. 

16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
17. Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.


BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan Undang-Undang Dasar 1945 serta prinsip-prinsip dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi:

a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.

Pasal 3 
Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.

BAB III
HAK DAN KEWAJIBAN ANAK
Pasal 4
Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Pasal 5
Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan.

Pasal 6
Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua.

Pasal 7
(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri.
(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 8
Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 9
(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya.

(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10
Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 11 
Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.


Pasal 12
Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Pasal 13
(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
 a. diskriminasi;
 b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
 c. penelantaran;
 d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
 e. ketidakadilan; dan
 f. perlakuan salah lainnya.

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan pemberatan hukuman.
Pasal 14
Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Pasal 15 
Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari:
a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik;
b. pelibatan dalam sengketa bersenjata;
c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; 
d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan
e. pelibatan dalam peperangan.

Pasal 16
(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.
(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir.

Pasal 17 
(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk:
 a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa;
 b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan
 c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum.
(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18
Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.


Pasal 19
Setiap anak berkewajiban untuk:
a. menghormati orang tua, wali, dan guru;
b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman;
c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara;
d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan
e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.
2.3 Berbagai sudut pandang terhadap anak
2.3.1 Pandangan Mansur Terhadap Anak Usia Dini
ü  Anak sebagai Orang Dewasa Mini
            Anak dipandang sebagai orang dewasa dalam bentuk mini, terutama di Eropa pada abad pertengahan. Yang membedakan anak dengan orang dewasa hanya ukuran dan usianya saja, justru anak diharapkan bertingkah laku sebagai orang dewasa. Bahkan di berbagai dunia ketiga, yakni di Amerika Latin dan Asia, anak-anak diharapkan produktif secara ekonomi. Anak-anak menjadi anggota keluarga yang ikut bekerja sebagaimana orang dewasa yang lain, walaupun usia mereka masih empat, lima, atau enam tahun. Mendorong anak bertingkah laku seperti orang dewasa dapat menimbulkan konflik antara harapan dan kemampuan. Apabila pendidik menuntut anak bertingkah laku seperti orang dewasa, berarti itu berbeda dari kenyataannya sebagai anak, sehingga harapan para pendidik seperti itu berarti tidak realistis.
ü  Anak sebagai Orang yang Berdosa
Sejak abad ke-14 sampai 18 terdapat pandangan bahwa anak sebagai orang yang berdosa, tingkah lakunya yang menyimpang merupakan dosa keturunan. Apabila anak bersalah, maka orang tua menganggap perbuatan anak adalah dosa. Pandangan itu terus menetap dan muncul dalam kepercayaan orang tua. Untuk itu tingkah laku anak harus selalu dikontrol dengan keras melalui pengawasan yang sangat ketat. Anak tidak boleh membantah dan harus patuh kata-kata orang tua. Institusi pendidikan pada saat itu adalah sebagai tempat untuk mengajarkan tingkah laku yang benar. Orang tua sangat berminat untuk memasukkan anaknya ke sekolah karena orang tua merasa kurang mampu menghindarkan anak dari godaan minuman keras dan bentuk kriminalitas lainnya. Pada masa itu banyak sekolah milik perorangan yang berorientasi pada agama, yang pada prinsipnya menekankan penanaman rasa hormat, patuh, dan bertingkah laku yang baik.
ü  Anak sebagai Tanaman yang Tumbuh
Peranan pendidik atau orang tua dalam hal anak sebagai tanaman yang tumbuh adalah sebagai tukang kebun, dan sekolah merupakan rumah kaca di mana anak tumbuh dan matang sesuai dengan pola pertumbuhannya yang wajar. Sebagai tukang kebun, pendidik atau orang tua berkewajiban untuk menyirami, memupuk, merawat, dan memelihara tanaman yang ada dalam kebun. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai pendidik harus melaksanakan proses pendidikan agar dapat meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan anak didik. Dapat dikatakan, bahwa apa yang terjadi pada anak tergantung pada pertumbuhan secara wajar dan lingkungan yang memberikan perawatan. Pertumbuhan yang alami adalah kegiatan bermain dan kesiapan atau proses kematangan. Isi dan proses belajar terkandung dalam kegiatan bermain dan materi serta aktivitas dirancang untuk kegiatan bermain yang menyenangkan dan tidak membahayakan.
Pada masa anak-anak yang umumnya siap untuk belajar adalah melalui motivasi dan bermain. Hal itu menunjukkan bahwa anak-anak akan siap untuk dikembengkan keterampilannya apabila telah mencapai suatu tingkatan di mana merek dapat mengambil keuntungan dari suatu instruksi yang tepat. Setiap anak mempunyai jadwal kematangan berbeda dan merupakan faktor bawaan. Masing-masing anak berbeda waktunya, maka hendaknya sebagai orang tua dan pendidik tidak memaksakan anak untuk belajar sesuatu apabila belum siap. Apabila anak belum siap belajar menunjukkan bahwa anak itu belum matang, proses yang alami belum terjadi. Oleh karena itu, orang tua hendaknya selalu memberi motivasi dalam kegiatan bermain untuk mengembangkan keterampilan anak.
ü  Anak sebagai Makhluk Independen
Walaupun anak dilahirkan oleh orang tua, namun pada hakikatnya anak merupakan individu yang berbada dengan siapa pun, termasuk dengan kedua orang tuanya, Bahkan anak juga memiliki takdir tersendiri yang belum tentu sama dengan orang tua. Dengan demikian maka jelaslah bahwa anak pada hakikatnya adalah makhluk independen. Hal ini perlu disadari sehingga orang tua tidak berhak memaksakan kehendaknya kepada anak. Biarkan anak tumbuh dewasa sesuai dengan suara hati nuraninya, orang tua hanya memantau dan mengarahkan agar jangan sampai menyusuri jalan hidup yang sesat. Orang tua hanya berkewajiban berusaha, yakni mengusahakan agar anak tumbuh dewasa menjadi pribadi saleh dengan merawat, mengasuh dan mendidiknya dengan pendidikan yang benar.
ü  Anak sebagai Nikmat, Amanat, dan Fitnah Orang Tua
Alangkah prihatinnya sepasang suami-istri yang berpuluh-puluh tahun atau bahkan hingga akhir hayatnya tidak dikaruniai anak. Bagi pasangan suami-istri yang tidak dikaruniai anak, niscaya sangat terasa belum lengkap tanpa kehadiran anak dalam rumah tangga yang dibinanya. Tidak ada  tangis bayi, tiada tawa anak-anak, tak pernah dimintai uang jajan, tiada yang meminta dibelikan pakaian seragam, tidak pernah memikirkan anaknya harus ke mana dan tak pernah memberikan bimbingan agar anak-anak kelak harus begini atau begitu. Suasana keluarga terasa sangat hampa dan kurang lengkap, maka kebahagiaan keluarga terasa ada saja yang kurang.
Dengan hadirnya anak di tengah-tengah pasangan suami-istri, maka jalinan kasih di antara mereka akan semakin kuat. Tidak sedikit pasangan suami istri yang berpisah di tengah jalan, kemudian bersambung kembali lantaran masing-masing teringat dengan anak mereka. Sebaliknya tidak jarang pula pasangan suami-istri yang demikian rujuk dan penuh kasih sayang, tiba-tiba bercerai lantaran tidak hadirnya satu anak pun di tengah-tengah mereka. Buah hati yang mereka dambakan tak pernah hadir dalam kenyataan. Anak memang benar-benar merupakan sumber kebahagiaan keluarga, buah hati yang memperkuat tali kasih kedua orang tuanya dan mampu membahagiakan segenap sanak saudara. Dapat dikatakan bahwa anak laksana wewangian surga yang menyemarakkan suasana kebahagiaan sebuah keluarga. Oleh karena itulah hendaknya orang tua menyadari pula akan kewajiban dan tanggung jawabna terhadap anak. Anak memerlukan perawatan, asuhan, bimbingan, dan pendidikan yang benar demi kelangsungan hidupnya.
Anak hanya akan terlahir dari pasangan suami-istri manakala Tuhan menciptakan dan berkehendak untuk mengaruniakan kepada pasangan yang bersangkutan. Jika Tuhan tidak menciptakan dan tidak berkehendak untuk mengarunikan kepada sebuah pasangan suami-istri, mereka tidak akan menghasilkan keturunan untuk selama-lamanya. Maka, bagi pasangan suami-istri yang mampu melahirkan anak hendaknya menyadari betul bahwa anaknya itu semata-mata merupakan karunia Tuhan. Banyak orang yang sudah lama menikah dan ingin mempunyai anak, tetapi tidak diberi anak oleh Tuhan. Jadi, anak merupakan nikmat Tuhan yang begitu tinggi nilainya, maka haruslah disyukuri dengan membina dan mendidik anak sebaik-baiknya.
Sebagai orang tua haruslah menyadari bahwa disamping anak menjadi nikmat, juga merupakan fitnah bagi orang tuanya jika tidak mampu menjaganya. Bahkan kadang anak juga bisa menjadi fitnah lantaran terdapat kekurangan atau kelemahan pada anak itu sendiri yang akan mengakibatkan fitnah bagi orang tuanya terlebih jika tidak dilandasi dengan iman dan takwa. Oleh karena itu, sebagai orang tua hendaklah mendidik anak dengan sebaik-baiknya agar tidak menjerumuskan orang tua dan anak itu sendiri.
Setiap orang tua muslim hendaknya menyadari bahwa anak adalah amanat Tuhan yang dipercayakan kepada orang tua. Dengan demikian orang tua muslim pantang mengkhianati amanat Tuhan berupa dikaruniakannya anak kepada mereka. Di antara sekian perintah Tuhan berkenaan dengan amanatNya yang berupa anak adalah bahwa setiap orang tua muslim wajib mengasuh dan mendidik anak-anak dengan dengan baik dan benar. Hal itu dilakukan agar tidak menjadi anak-anak yang lemah iman dan lemah kehidupan duniawinya, namun agar dapat tumbuh dewasa menjadi generasi yanh saleh, sehingga terhindar dari siksa api neraka. Jika para orang tua benar-benar menempuh jalan yang benar dalam mengemban amanat Tuhan, yakni mendidik anak-anak mereka dengan baik dan benar, niscaya fitrah islmiah anak akan tumbuh dan dan lebih bisa diharapkan dapat masuk surga. Sebaliknya jika orang tua lengah dalam mengemban amanat Tuhan, maka fitrah islamiah anak akan tercoreng atau bahkan hilang sama sekali dan tergantikan oleh akidah lain. Dengan demikian yang harus ditata dan ditingkatkan adalah kadar iman dan takwanya kepada Tuhan.

ü  Anak sebagai Milik Orang Tua dan Investasi Masa Depan
            Pandangan anak sebagai investasi telah ada sejak abad pertengahan. Banyak orang tua mempunyai pandangan, setelah mereka tua atau meninggal dunia, maka anak adalah penggantinya. Pada tahun 60-an berbagai program yang berlatarbelakang pentingnya anak sebagai investasi, berkembang di berbagai negara bagian Amerika, yakni program kesejahteraan anak berdasarkan pandangan anak sebagai investasi. Umumnya program-program tersebut berpandangan bahwa investasi yang paling berharga bagi negara adalah anak-anak. Anak adalah milik orang tua atau institusi, sehingga orang tua mempunyai hak atas diri anak. Hukum melindungi anak-anak dari hukum fisik dan perlakuan salah secara emosional. Orang tua harus memasukkan anak ke sekolah sesuai undang-undang wajib belajar bagi anak. Orang tua seringkali menganggap bahwa dia boleh melakukan apa saja terhadap anaknya karena berpendapat bahwa anak adalah miliknya. Namun anak adalah milik Tuhan, sedangkan orang tua adalah orang yang dipercaya dan diberi amanat oleh Tuhan untuk mendidiknya sehingga tidak boleh memperlakukan seenaknya sesuai kehendak dirinya, apalagi tidak sesuai dengan ajaran agama. Anak sebagai investasi masa depan sangat dekat hubungannya dengan anak sebagai milik orang tua yang berkaitan dengan masa depan keluarga dan bangsa.
ü  Anak sebagai Generasi Penerus Orang Tua dan Bangsa
Dengan hadirnya anak, maka orang tua merasa ada pihak yang akan meneruskan garis keturunannya. Garis keturunan tidak akan terputus dan kelangsungan hidup manusia pada umumnya akan lebih terjamin. Sebagai orang tua, tentunya menyadari betul akan pentingnya garis keturunan. Anak keturunannya akan lebih bisa diharapkan menjadi generasi penerus.
Di samping itu, setiap orang tua tentu menyadari betul bahwa anak adalah pelestari pahala. Jika anak tumbuh dewasa menjadi generasi yang saleh, maka anak dapat mengalirkan pahala walaupun orang tuanya sudah meninggal dunia. Berarti jika anak tidak menjadi generasi yang saleh, maka siksaan akan mengalir pula walaupun orang tuanya telah meninggal dunia. Maka betapa sengsara para orang tua yang meninggalkan anak-anak tidak saleh. Dengan demikian apabila para orang tua muslim benar-benar menyadari hakikat anak mereka yang dapat melestarikan pahala dan juga melestarikan siksa, niscaya akan bangkitlah semangat untuk lebih waspada terhadap pendidikan anak-anak yang hendak mereka tinggalkan sebagai generasi penerus itu menjadi generasi lemah iman, akibatnya akan memberikan siksaan bagi orang tuanya.
Dalam GBHN telah dijelaskan bahwa anak merupakan generasi penerus bangsa dan sumber insan bagi pembangunan nasional, maka harus diperhatikan dan dibina sedini mungkin agar menjadi insan yang berkualitas dan berguna bagi bangsa. Sebagai orang tua, haruslah mempunyai tujuan dan berikhtiar agar anak di masa depan mempunyai kualitas yang lebih tinggi dari orang tuanya, minimal sejajar atau sama dengan orang tuanya. Dengan demikian dia perlu mempersiapkan anak itu sejak dini agar menjadi manusia unggul.

2.3.2 Pandangan Sejarah Tentang Anak
Setiap orang mempunyai pandangan dan pikiran yang berbeda menurut zamannya dalam melihat anak-anak. Zaman Romawi Kuno sampai memasuki zaman pertengahan , misalnya masa kanak-kanak dirasakan sangat singkat. Seorang anak laki-laki atau perempuan disebut “bayi” sampai pada usia “enam”. Secara dramastis setelah itu mereka harus bekerja di ladang, bengkel, atau rumah. Anak-anak terlahir dipandang membawa dosa turunan dan dianggap sebagai “properti” dari sang ayah. Keyakinan itu berakibat pada disiplin yang keras dan mengesampingkan kebutuhan mereka.
Perlakuan “kejam” itu mulai berubah pada zaman renaisans dan pencerahan sebagaimana spirit kemanusiaan menghendaki anak-anak yang cukup berkualitas. Hal ini dapat dilihat pada lukisan zaman itu, anak-anak digambarkan sedang bermain, dirawat, dan melakukan aktivitas kanak-kanak mereka. Sehingga dari lukisan tersebut mereka tidak dianggap sebagai miniatur orang dewasa.
Kepedulian terhadap masa kanak-kanak sebagai tahapan yang terpenting dalam perkembangan manusia sangat dipahami mulai abad 17 dan 18. Hal ini terlihat dari karya-karya dua pemikir Eropa bernama John Locke seorang filsuf dari Inggris, dan Jean Jacques Rousseau seorang filsuf dari Prancis. Menurut John Locke (dalam Wahyudi, 2005: 4) menyatakan bahwa bayi yang baru lahir ke dunia tidak membawa tendensi tertentu (inherited predispositions), tetapi bagaikan “selembar kertas putih” atau dalam bahasa Latin disebut “tabula rasa”, kemudian mulai diisi dengan gagasan, konsep, dan pengetahuan dari pengalaman mereka di dunia. Dia menyimpulkan bahwa kualitas pengalaman pertama anak-anak tergantung dari bagaimana mereka ditumbuhkembangkan dan dididik. Hal itu sangat berpengaruh membentuk hidup anak-anak. Tidak lama kemudian, seorang filsuf dari Perancis bernama Jean Jacques Rousseau (dalam Wahyudi, 2005: 4) mengemukakan bahwa anak-anak dilahirkan memiliki fitrah yang baik (innately good), tidak jahat, dan seharusnya tendensi alamiahnya dilindungi dari pengaruh sosial masyarakat yang korup. Semenjak itu, inspirasi Rousseau mengubah perlakuan masyarakat terhadap anak-anak menjadi lebih simpatik dan romantis. Pengaruh dalam masyarakat zaman itu bisa dilihat dari karya novelis Charles Dickens dan Victor Hugo, yang mengutuk eksploitasi pekerja anak dan menekankan pentingnya mereformasi pendidikan dan nilai masyarakat.

2.3.3 Pandangan Modern Tentang Anak
Ada tiga pandangan yang mendominasi riset-riset tentang perkembangan anak di abad ini. Para pakar anak menggunakan pendekatan psikoanalis Sigmund Freud sebagai panduan riset mereka, dan diperluas oleh Erik Erikson untuk membantu memahami perkembangan kepribadian dan kesulitan emosional anak. Teori perilaku dan pembelajaran sosial bergantung pada kondisi dan model yang menjelaskan bentuk-bentuk respons dan penyelesaian masalah perilaku. Teori fase-fase Jean Piaget tentang perkembangan kognitif, mendobrak pandangan dunia tentang anak-anak sebagai individu aktif yang bertanggungjawab pada pembelajaran mereka sendiri.

2.4 Anak bekerja dibawah usia dini
Dalam perkembangannya pekerja anak tahun 2004 berdasarkan hasil dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) terdapat 1.5 juta anak usia 10 – 14 bekerja aktif. Juga 1.6 juta anak yang usia 10 – 14 tahun tidak sekolah dan bekerja. Menurut catatan Komnas Perlindungan Anak, di 33 provinsi, jumlah pekerja anak meningkat pada tahun 2006 jumlahnya mencapai 3,2 juta, dan menjadi 4,8 juta pada 2007, sedang pada tahun 2008 diperkirakan menjadi 6,3 juta, perkiraan ini berdasarkan pola tahun-tahun sebelumnya. Sekitar 20-30 persen anak putus sekolah masuk ke sektor kerja dan menjadi pekerja, terutama yang putus sekolah di level SMP. Selain itu, diketahui pula bahwa pada tahun 2006 ada 10,8 juta anak putus sekolah, tahun 2007 sebesar 12,7 juta anak putus sekolah di jenjang SD hingga SMA/SMK.
Survei Pekerja Anak (SPA) dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang bekerjasama dengan ILO menemukan dari 58,8 juta anak Indonesia pada tahun 2009, 1,7 juta jiwa diantaranya menjadi pekerja anak. Definisi anak dalam survei ini adalah 5-17 tahun atau berbeda dengan definisi Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakrenas) yang hanya melihat anak 15-17 tahun. Survei menemukan, setidaknya 674 ribu anak di bawah 13 tahun berstatus bekerja, sekitar 321 ribu anak umur 13-14 tahun bekerja lebih dari 15 jam per minggu, dan sekitar 760 ribu jiwa anak umur 15-17 tahun bekerja di atas 40 jam per hari.
Berdasarkan laporan yang diungkap dalam konferensi PBB mengenai masalah pemukiman (habitat II) di Turki tahun 1996, diperkirakan pekerja anak rata-rata memberi sumbangan 20 persen bagi ekonomi keluarganya. Dengan jumlah sebesar itu wajar jika orang tua yang berasal dari kelas sosial rendah tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup mereka, merelakan anaknya mencari tambahan penghasilan.
2.4.1 Faktor Ekonomi
Asra (1993) menjelaskan bahwa salah satu faktor utama adanya pekerja anak adalah faktor ekonomi rumah tangga, pengaruh orangtua dan rendahnya tingkat pendidikan ayah atau ibu. Secara umum dalam berbagai penelitian dapat ditunjukkan bahwa penyebab adanya pekerja anak dapat dibedakan dalam dua faktor :
1)      Faktor pendorong (push factors) yang cukup meyakinkan seperti : tekanan ekonomi keluarga, adanya pandangan bahwa bekerja adalah bagian dari proses pendidikan, ingin membantu ekonomi keluarga, karena sudah tidak sekolah ingin punya penghasilan sendiri.
2)      Faktor penarik (pull factors) yaitu berupa permintaan terhadap pekerja anak yang sangat tinggi, disamping faktor lain yakni kelemahan dibidang

Menurut Rodgers dan Standing (1981), rendahnya kehidupan ekonomi rumah tangga, menyebabkan banyak keluarga yang memerlukan bantuan mereka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi marjinal. Jika diandaikan anak-anak tersebut tidak memperoleh perlindungan yang memadai (baik fisik maupun hukum) mempunyai resiko tinggi putus sekolah, jam kerja panjang dan pekerjaan mereka tidak menjamin kehidupan sosial ekonomi yang lebih baik, maka partisipasi mereka bekerja menjadi masalah (Manurung, 1998).





BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan dan Saran
3.1.1 Kesimpulan
Anak usia dini dipandang sebagai orang dewasa mini, orang yang berdosa, tanaman yang tumbuh, makhluk independen, nikmat, amanat, dan fitnah orang tua, milik orang tua dan investasi masa depan, generasi penerus orang tua dan bangsa. Dalam pandangan sejarah anak usia dini pada Zaman Romawi Kuno sampai memasuki zaman pertengahan dipandang membawa dosa turunan dan dianggap sebagai “properti” dari sang ayah. Perlakuan “kejam” itu mulai berubah pada zaman renaisans dan pencerahan menghendaki anak-anak yang cukup berkualitas, mereka tidak dianggap sebagai miniatur orang dewasa. Pada abad 17 dan 18 berpandangan bahwa kualitas pengalaman pertama anak-anak tergantung dari bagaimana mereka ditumbuhkembangkan dan dididik. Hal itu sangat berpengaruh membentuk hidup anak-anak.Sedangkan dalam pandangan modern anak usia dini dipandang sebagai individu aktif yang bertanggung jawab pada pembelajaran mereka sendiri.
3.1.2 Saran
            Untuk pemerintah agar lebih giat untuk mengatasi anak yang bekerja dibawah usia dini terutama meningkatkan perekonomian dikalangan masyarakat miskin dengan membuka lapangan pekerjaan lebih besar agar dapat menyerap tenaga lebih banyak, dan lebih meningkatkan pendidikan yang berkualitas dengan sibsidi bagi yang kurang mampu.
            Diharapkan dikalangan pelajar S1/S2/S3 dll, se-Indonesia agar  lebih mengutamakan kepentingan bersama untuk membangun negeri dengan cara selesai wisuda mampu menciptakan lapangan pekerjaan, bukan bersaing untuk menjadi pegawai (PNS) , siapa lagi yang akan membangunkan negeri kalau bukan dari kita.Siapa lagi yang bisa menuntaskan kemiskinan di Indonesia ini kalau bukan kita, siapa lagi yang bisa mengurangi anak yang bekerja dibawah usia dini kalau bukan kita, yaitu kita yang bisa mementingkan kepentingan bersama.


















DAFTAR PUSTAKA

Dadang Ahmad, Sosiologi Agama, Rosda, Bandung, 2000.
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt, Sosiologi, Erlangga, Jakarta, 1984.
Su’adah, Sosiologi Keluarga, UMM Press, Malang, 2005.

0 komentar :

Posting Komentar