BAB
I.
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Bergulirnya reformasi yang dimulai pertengahan tahun
1988 akhirnya bergerak di segala bidang termasuk diantaranya di bidang
Pertanahan. Sejak dahulu persoalan pertanahan selalu ada dan menarik untuk
dibahas penyelesaiannya. Persoalan pertanahan selalu diwarnai dengan adanya
gejolak karena adanya ketidak adilan di dalam pelayanan yang dilakukan
pemerintah baik di pulau Jawa maupun di luar pulau Jawa. Pemerintah Orde Baru
yang ada pada waktu itu sangat kuat menciptakan suatu pemerintahan dengan
bernaung Undang-Undang Nomor. 5 Tahun 1975 tentang Pokok-Pokok Pemerintah di
Daerah. Di dalam pelaksanaan Undang-Undang yang bersifat sentralistik ini ada
yang dinilai tidak sesuai dengan amanat Pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang
merupakan landasan kuat untuk menyelenggarakan otonomi daerah dengan memberikan
kewenangan yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah. Reformasi
tampaknya menyadari sebagian masyarakat tentang penegakan tatanan pemerintah
yang mendasarkan kepada Undang
Dasar 1945.
Pemikiran Otonomi Daerah dipandang dapat memecahkan
masalah-masalah pemerintah yang lebih berkeadilan di segala bidang meskipun
disadari bahwa manfaat dari pengaturan sentralistik tidak semuanya buruk.
Otonomi Daerah dapat dianggap sebagai jalan keluar yang sangat baik bagi
penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana diamanatkan pada Ketetapan MPR RI
Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian
dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Koreksi total terhadap penyelenggaraan pemerintah di daerah yang mendasarkan
kepada Ketetapan MPR tersebut di atas dituangkan di dalam Undang-Undang Nomor.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 2 Mei 1999, yang termuat
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor : 3839 yaitu dengan prinsip
mengatur penyelenggaraan Pemerintah di Daerah yang lebih mengutamakan
pelaksanaan azas desentralisasi. Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999 tersebut
telah diganti dengan Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah, karena tidak sesuai dengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan dan
tuntutan penyelenggaraan otonomi daerah.
Masih dalam rangka menyikapi bergulirnya reformasi,
khususnya di bidang pertanahan, Majelis Permusyawaran Rakyat Republik Indonesia
menetapkan Ketetapan MPR RI Nomor : IX/MPR/2001, tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam menetapkan prinsip-prinsip pembaruan dan
pengelolaan sumber daya alam, dinyatakan dalam Pasal 4 huruf 1, bahwa kebijakan
pelaksanaan desentralisasi tersebut, berupa : “Pembagian kewenangan di tingkat
Nasional, Daerah Propinsi, Kabupaten/Kota dan Desa atau yang setingkat,
berkaitan dengan lokasi dan pengelolaan sumber daya agraria/sumber daya alam”,
yang pelaksanaannya ditugaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden.
Dalam rangka menindaklanjuti perintah TAP MPR Nomor
: IX/MPR/2001 tersebut telah dikeluarkan Keputusan Presiden Nomor : 34 Tahun
2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, ada 9 (sembilan)
kewenangan pemerintah di bidang pertanahan dilaksanakan
kepada
Pemerintah Kabupaten/Kota yaitu :
1) Pemberian
ijin lokasi;
2) Penyelenggaraan
pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan;
3) Penyelesaian
sengketa tanah garapan; xv
4) Penyelesaian
masalah ganti kerugian dan santunan tanah untuk pembangunan;
5) Penetapan
subyek dan obyek redistribusi tanah, serta ganti kerugian tanah kelebihan
maksimum dan tanah absentee;
6) Penetapan
dan penyelesaian tanah ulayat;
7) Pemanfaatan
dan penyelesaian tanah kosong;
8) Pemberian
ijin membuka tanah;
9) Perencanaan
penggunaan tanah wilayah Kabupaten/Kota.
Untuk keseragaman administrasi oleh pemerintah dalam
hal ini Kepala Badan Pertanahan Nasional telah menerbitkan Keputusan Badan
Pertanahan Nasional Nomor 2 Tahun 2003 tanggal 23 Agustus 2003, tentang Norma
dan Standar Mekanisme Ketatalaksanaan Kewenangan Pemerintah di Bidang
Pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, norma tersebut merupakan
tindak lanjut sekaligus sebagai pedoman 9 (sembilan) kewenangan pemerintah di
bidang pertanahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota. Masih
sering terjadi adanya informasi masyarakat mengenai perselisihan tanah garapan
yang tidak sesuai dengan ketentuan yang jelas, sehingga berakibat terjadinya
konflik kepentingan antara masyarakat
penggarap dengan masyarakat lain yang ingin menguasai dan menggarap bahkan ada
sebagian Pemerintah Desa/Kelurahan yang menginginkan demikian. Sebetulnya apa
yang dikenal dengan sebutan “Hak Garapan” tidak ada dalam Hukum Tanah. Menurut
hukum penguasaan tanah yang bersangkutan tidak ada landasan haknya
(“illegal”).Penguasaannya justru melanggar hak pihak yang empunya tanah atau
hak negara, kalau yang diduduki itu tanah negara dan ini melanggar Undang-Undang
Nomor 51 Perp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang
Berhak atau Kuasanya yang Sah. Pelanggaran-pelanggaran seperti ini masih ada
dan berlangsung terus, hal ini terjadi karena jumlah penduduk terus bertambah,
sudah tentu kebutuhan akan tanah terus meningkat, di sisi lain tanah mempunyai
nilai strategi dan ekonomis. Jadi wajar kalau masalah tanah selalu muncul di
Negara Republik Indonesia tercinta ini, khususnya yang berkaitan dengan penguasaan
tanah garapan. Untuk mengatasi hal tersebut, negara mengatur tentang penerbitan
status dan penggunaan hak-hak atas tanah, sebagai upaya meningkatkan kepastian hukum, salah satu
caranya dengan pemberian sertifikat kepemilikan
hak-hak atas tanah tersebut. Secara konstitusional, Undang-Undang Dasar 1945
telah mengatur hal tersebut, yaitu Pasal 33 ayat (3), memberikan landasan bahwa
bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penjabaran atas ketentuan tersebut di
atas pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria yang lebih dikenal dengan nama singkatan resminya
Undang-Undang Pokok Agraria disingkat UUPA, untuk bertujuan
memberikan
dasar hukum yang jelas bagi kepemilikan hak-hak atas
tanah,
dimana negara sebagai kekuasaan tertinggi tersebut Negara,
perundang-undangan yang berlaku sebagai landasan hokum
dan teknis pelaksanaan tugas dengan baik, sehingga pencapaian hasil tidak
menimbulkan masalah atau sengketa baru. Berbagai usaha dan langkah yang
ditempuh selama ini untuk mengendalikan penggunaan penguasaan tanah, pemilikan
dan pengalihan hak atas tanah, telah dilaksanakan dengan baik, dan dapat
dipergunakan untuk menunjang berbagai kegiatan pembangunan. Akan tetapi
keberhasilan itu bukan tidak ada masalah, hal tersebut dapat dimaklumi karena
masih terbatasnya tenaga dan prasarana.Kebutuhan dan permintaan bidang tanah
menjadi semakin pelik dan kompleks, sedangkan luas tanah terbatas atau tetap.
Meningkatnya kebutuhan akan tanah sebagai akibat lajunya pertumbuhan penduduk
dan pembangunan.
Kemudian pemusatan penguasaan yang luas, persaingan
keras dalam perolehan tanah, meningkatnya harga tanah semakin tinggi, masalah
ganti kerugian tanah belum terselesaikan, ketidakseimbangan penggunaan tanah
tidak efisien sehingga menimbulkan tanah terlantar. Praktek-praktek penggunaan
tanah tidak sesuai dengan daya dukungnya, sehingga merusak lingkungan hidup,
merupakan kasus-kasus keagrariaan atau pertanahan yang banyak dijumpai,
semuanya itu merupakan tantangan bagi pejabat berwenang di bidang pertanahan
dalam menghadapi dan menyelesaikan kasus tersebut dengan benar.
BAB
II
ISI
A.
Sengketa Tanah
Garapan dan Penyelesaiannya
Sengketa tanah garapan yang kerapkali muncul di
Kabupaten Karanganyar
disebabkan karena ketidak pastian hubungan hukum para penggarap dengan obyek tanah yang telah
lama dikuasai dan digarap serta
dimanfaatkan sebagai salah satu bagian dari kehidupan. Di sisi lain masih banyak masyarakat yang
membutuhkan, karena terbatasnya tanah yang
tersedia, lebih-lebih bagi masyarakat yang tidak mampu, sehingga masyarakat tersebut juga ingin turut
serta menggarap bahkan menginginkan
hak. 2
( tiga ) contoh kasus sengketa tanah
garapan yang sudah dapat diselesaikan di tingkat Kabupaten Karanganyar, yaitu :
1.
Kecamatan Tasikmadu.
Ada 2 ( dua ) Desa : 1.1.
Desa Kalijirak, di Desa ini terdsapat tanah garapan seluas +/- 74.975 M2 yang telah dikuasai dan digarap
masyarakat sebelum Negara
Indonesia merdeka, menurut keterangan dari tokoh masyarakat
dan Kepala Desa, pada zaman dulu tanah tersebut tanah
diperuntukkan untuk pangonan
( tempat menggembala hewan
ternak ) dan waktu itu lokasinya jauh dari perkampungan penduduk, biasanya para pemilik tanah
enggan menggembala hewan
peliharaannya karena tempatnya dianggap keramat dan kebetulan letaknya di pinggir jurang /
sungai. Karena perkembangan
zaman, tanah tersebut dirubah peruntukkannya untuk
tanah pertanian / sawah. Pada awal dimulainya beralihnya
fungsi, yang menggarap hanya 10 ( sepuluh ) orang, mengingat hasil panennya bagus, maka
masyarakat yang tadinya tidak
menggarap akhirnya pada pertengahan tahun 1985 mulai mempersoalkan, hal ini terus berlangsung
sampai tahun 2004 konflik
kepentingannya belum dapat diselesaikan. 1.2.
Desa Ngijo, di Desa ini terdapat tanah garapan seluas +/- 648 M2 tanah seluas tersebut menurut
keterangan Kepala Desa, pada tahun
1965 sampai tahun 1980 tidak ada orang yang berani menggarap ( menempati ) karena lokasinya
berhimpitan dengan tanah
pemakaman umum. Kemudian sekitar pertengahan tahun 1980 an tanah tersebut digarap dan
dikuasai untuk rumah tempat tinggal
oleh salah satu anggota masyarakat desa setempat, karena
orang tersebut benar tidak punya tanah, selanjutnya atas seijin Kepala Desa, orang tersebut telah
diberikan Surat Keterangan
Tanah, hal ini dibuat sebagai syarat untuk kelengkapan
permohonan hak. Niat baik Kepala Desa ini ditentang
oleh sebagian masyarakat dan akhirnya upaya musyawarah
sampai tahun 2003 belum berhasil. Kedua
kasus sengketa tanah garapan tersebut penyelesaiannya telah
berakhir
setelah Pemerintah Kabupaten Karanganyar bersama instansi terkait berulang kali mengadakan
rapat-rapat bahkan sampai mengadakan
peninjauan lapangan serta mendengar keterangan dari berbagai tokoh masyarakat yang diperkuat
dengan Anggota Badan Perwakilan
Desa akhirnya sengketa tanah garapan tersebut telah berakhir dengan dikeluarkannya Surat
Bupati Karanganyar Nomor : 143
/ 1788-1 tanggal 15 April 2005 dan Nomor : 143 / 1789-1 tanggal 15 April 2005 masing-masing untuk Desa
Kalijirak dan Desa Ngijo. Surat
Bupati tersebut Substansinya menetapkan para subyek hak yang berhak menggarap / menguasai sekligus
prioritas mengajukan hak di Kantor
pertanahan, sedangkan segala biaya yang timbul dalam proses sertipikatnya
menjadi tanggung jawab calon subyek hak.
2.
Kecamatan Tawangmangu.
Di Kecamatan Tawangmangu ini terdapat di Desa
Gondosuli, ada tanah garapan
seluas +/- 18.062 M2 sejak tahun 1954 dikuasai oleh masyarakat, pada tahun 1999 an bersamaan
dengan arus gelombang reformasi,
masyarakat penggarap menginginkan tanah yang sudah digarap bertahun-tahun dapat diajukan
permohonan hak. Pada
tahun 2002 tanah seluas tersebut di tata oleh masyarakat bersama dengan Pemerintah Desa dan
menjadi 82 ( delapan puluh dua
) bidang yang luasnya bervariasi, oleh Pemerintah Desa kemudian diteruskan ke Bupati untuk dimintakan
persetujuan penetapan atas ke 82
bidang tersebut, agar dapat diberikan prioritas mengajukan permohonan hak. Permohonan tersebut sampai saat ini
belum dapat disetujui, hal ini
karena
masih ada perselisihan dengan pihak Perhutani, yang mana pihak Perhutani juga mengklaim tanah
yang dikuasai masyarakat adalah
tanah yang sudah terdaftar sebagai asset Perhutani. Jadi untuk kasus sengketa tanah yang terakhir ini
belum dapat diselesaikan.
B. Penyelesaian Sengketa Tanah Garapan di
Kabupaten Karanganyar
Dalam pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah
garapan Kantor Pertanahan
Kabupaten Karanganyar secara fisik tidak terdapat permasalahan,
namun terdapat kendala dalam
berbagai aspek yang dapat dijabarkan
sebagai berikut :
1. Yang
menyangkut masyarakat. Tidak
seluruh warga masyarakat menerima dengan baik upaya Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar
dalam menyelesaikan sengketa
tanah garapan, karena umumnya masyarakat beranggapan bahwa proses pengurusan sertifikat selalu sulit, berbelit-belit,
dipersulit dan membutuhkan
biaya yang mahal.
2. Yang
menyangkut koordinasi dengan para Camat dan para Kepala Desa / Kelurahan. Para Camat dan para Kepala Desa /
Kelurahan masih enggan mendukung
pelaksanaan program P3HT ini disebabkan selain honor yang kecil juga karena adanya tuntutan
dari sebagian warga masyarakat
yang menentang pemberian sertipihak hak tanah kepada sebagain masyarakat yang lainnya oleh
Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar.
3. Yang
menyangkut masalah keuangan
a) Mekanisme
pelaksanaan pencairan dana.
b) Kadang-kadang
pekerjaan belum selesai honor petugas pelaksana sudah
diambil, sehingga kalau ada kekurangan persyaratan
yang harus dilengkapi pemohon, perangkat desa
/ kelurahan menjadi malas
untuk segera menindaklanjuti melengkapinya.
c) Adanya
penambahan biaya yang telah ditentukan, yang dilakukan oleh perangkat desa / kelurahan.
4. Adanya
LSM yang ikut campur dalam pelaksanaan penyelesain sengketa tanah garapan, sehingga hal
tersebut dapat mengganggu konsentrasi
dalam pelaksanaannya.
5. Keterbatasan
SDM yang ada pada Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar,
baik tenaga administrasi maupun tenaga pengukuran. Mekanisme pekerjaan Bendaharawan belum
lancar, masih dalam tahap pembelajaran.
6.
Keterbatasan sarana dan prasarana Seperti kendaraan operasional, gedung
kantor ( ruang tempat kerja dan
ruang penyimpanan warkah ), komputer peta pendaftaran dan lain-lain.
7. Banyaknya
kegiatan yang menyita waktu Banyaknya
kegiatan Peringatan 17 Agustus, Hari Ulang Tahun UUPA, pertemuan-pertemuan yang bersifat
seremonial, libur Lebaran dan Natal, serta hari libur nasional
lainnya.
8. Adanya
kendala yang bersifat teknis, antara lain :
a) Pengisian
blanko tidak sesuai dengan sumber datanya, tidak lengkap,
salah, bahkan ada yang menyerahkan blanko kosong, hanya
ditanda tangani pemohon, Kepala Desa, Camat dan hanya
distempel Desa dan atau Kecamatan.
b) Dalam
menguraikan riwayat tanah, tidak berurutan, tidak berkesinambungan.
c) Dalam
pengisian data pada blanko banyak coretan karena terjadinya
kesalahan yang dibetulkan tidak dengan mengganti blanko
baru tapi hanya dengan mencoret yang salah.
d) Adanya
kejadian salah penunjukan obyek / tanahnya.
e) Obyek
/ tanahnya sudah bersertifikat tetapi didaftarkan lagi (umumnya karena sertifikat hilang atau
pemecahan sertifikat).
f) Pemilik
tanah tidak mau menunjukkan data tanahnya dan atau tidak siap di tempat / obyek / lokasi
tanahnya pada waktu diukur.
g) Pemilik
tanah tidak atau belum memasang tanda / patok batas obyek / tanahnya.
h) Dalam
satu Desa ada nama pemohon yang sama sehingga bias terjadi kesalahan penunjukan obyek /
tanahnya.
i) SPPT
PBB yang dilampirkan dalam berkas permohonan bukan SPPT PBB untuk obyek / tanah yang dimohonkan sertifikatnya.
j) Pada
berkas permohonan perangkat desa / kelurahan mengurangi
/ memperkecil luas tanah yang dimohon dengan tujuan
agar biayanya lebih rendah dari tabel biaya yang ditetapkan
oleh Kantor Pertanahan.
k) Tanda
tangan / cap ibu jari batas pada Daftar Isian 201 hanya diwakili oleh Kepala Desa bukan tanda
tangan / cap ibu jari pemohon.
l) Ada
tanda tangan / cap ibu jari yang bukan tanda tangan / cap ibu jari pemohon.
m) Pemohon
/ pendaftar bersifat masa bodoh karena merasa semua
urusan sudah diserahkan kepada pihak perangkat desa sehingga tidak proaktif terhadap
kelengkapan berkas atau persyaratan
yang kurang.
n) Pendidikan
dan kemampuan perangkat desa / kelurahan banyak yang
rendah dan banyak yang
sudah tua, sehingga kurang mendukung
dalam menyiapkan berkas / pemberkasan.
o) Buku
C Desa / Kelurahan banyak yang sudah rusak ( banyak halaman yang hilang ) sehingga sulit
mengadakan cross check data.
9. Adanya
gangguan teknis dalam program komputer ( seringkali error / mengalami kemacetan ) yang disebabkan
oleh suplay arus listrik tidak mencukupi
( voltase turun atau naik turun ) sehingga menghambat waktu penyelesaian data.
10. Tenaga
koreksi ( kendali mutu ) hasil pengukuran terbatas, karena struktural hanya dilaksanakan oleh
Kasubsi PPK dan Kasi Pengukuran dan
Pendaftaran Tanah. Pemerintah
Kabupaten Karanganyar mengalami kendala dalam hal waktu
untuk menyelesaikan revisi konsep SPK dengan
Kantor Pertanahan Kabupaten
Karanganyar disebabkan waktu yang diberikan untuk mengkoreksi
konsep SPK terlalu sempit sedangkan
Pemda memiliki jadwal padat
dan koreksi dilakukan oleh beberapa staf, sehingga dengan waktu yang sempit tidak dapat dilakukan
koreksi yang seksama terhadap
konsep SPK, sehingga penyusunan SPK umumnya
akan mengacu pada SPK tahun lalu. Selain waktu penyusunan SPK yang sempit,
penyusunan SPK antara
Pemerintah Kabupaten Karanganyar dan Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar
dalam rangka penyelesaian sengketa tanah garapan
sering ditunda karena salah satu pihak dalam rapat penyesuaian hasil koreksi sering tidak berada di tempat
atau pembahasan yang lama terhadap
satu maslah, terutama mengenai biaya pelaksanaan
P3HT. Menurut Drs. Agus Heri Bindarto, Kantor
Pertanahan Kabupaten Karanganyar
kurang memberi waktu pada para Camat untuk mensosialisasikan
program P3HT sebagai upaya untuk menyelesaikan sengketa
tanah garapan kepada masyarakat pemohon hak karena menganggap para Camat telah mengetahui
program P3HT sebagai program tahunan yang diselenggarakan
oleh Kantor Pertanahan Kabupaten
Karanganyar, padahal kondisi masyarakat tidak sama setiap tahun. Sehingga harus dipersiapkan dan
disosialisasikan secara bertahap sehingga
diharapkan akan mendapatkan hasil yang maksimal.
BAB III.
PENUTUP
A.Simpulan
Berdasarkan uraian dan analisa yang telah penulis
lakukan pada bagian
terdahulu, maka dalam kesempatan ini, penulis bermaksud menyimpulkan hasil penelitian dan
pembahasan tersebut dengan penjabaran
sebagai berikut :
1. Sengketa
tanah garapan dapat diselesaikan melalui Program P3HT (proyek peningkatan permohonan hak atas
tanah) di Kantor Pertanahan
Kabupaten Karanganyar. Hal ini melalui tahapan persiapan yang terdiri dari kegiatan koordinasi,
kegiatan pengumpulan data yuridis,
pengumpulan data fisik, pemeriksaan tanah, keputusan pemberian hak atas tanah, proses penerbitan sertipikat dan penyerahan sertipikat serta laporan.
2. Kendala-kendala
/ permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Karanganyar dalam menyelesaikan sengketa tanah garapan, melalui program
P3HT antara lain :
a. Mekanisme
pelaksanaan pencairan dana.
b. Mekanisme
pekerjaan bendaharawan belum lancar, masih dalam
tahap pembelajaran.
c. Para
camat dan Para Kepala Desa / Kelurahan kurang mendukung.
d. Keterbatasan
dana dan prasarana.
e. Sebagian
masyarakat belum sepenuhnya dapat menerima program
P3HT, dikarenakan adanya anggapan proses pengurusan
sertifikat mahal dan sulit serta lama.
f. Adanya
beberapa kendala teknis.
3. Upaya
penyelesaian yang ditempuh oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar antara lain :
a. Meningkatkan
kegiatan Koordinasi antar seksi di lingkungan Kantor
Pertanahan Kabupaten Karanganyar.
b. Menyusun
Petunjuk Pelaksanaan ( JUKLAK ) dan Petunjuk Teknis
(JUKNIS) untuk para Camat dan para Kepala Desa.
c. Mengadakan
perbaikan sarana dan prasarana.
d. Mengadakan
kerjasama dengan teknisi ( programmer komputer) setempat.
B.
Saran-Saran
Adapun saran-saran yang dapat penulis sampaikan
berdasarkan pembahasan dari
hasil penelitian adalah sebagai berikut :
Dalam
rangka meningkatkan efektifitas pelaksanaan penyelesaian sengketa tanah garapan melalui program
P3HT oleh Kantor Pertanahan
Kabupaten Karanganyar disarankan agar para Kepala Seksi yang berhubungan dengan pelaksanaan
program P3HT lebih meningkatkan
koordinasi sehingga mengurangi lambannya kinerja Badan
Pertanahan Kabupaten Karanganyar. Dengan
terlaksananya kegiatan koordinasi antar seksi tersebut, diharapkan dapat mewujudkan peningkatan
persepsi yang sama dalam penyelesaian
masalah pertanahan di Kantor Pertanahan Kabupaten Karanganyar Perlu dilaksanakan penyuluhan yang lebih
intensif terhadap warga masyarakat
calon pemohon hak agar mengurangi perbedaan persepsi mengenai maksud dan tujuan program P3HT,
manfaat pemilikan sertifikat
bagi masyarakat serta mengurangi kesalahan-kesalahan dalam bidang teknis yang mengakibatkan
sertifikat menjadi terlambat diproses
atau tertinggal dari proses sertifikat yang sudah lengkap persyaratannya.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Bachtiar
Effendie, S.H. Pendaftaran
Tanah di Indonesia dan Peraturan Pelaksanaannya, Bandung : Alumni,
1993
2.
Badan
Pertanahan Nasional, Laporan
10 Tahun BPS – September 1988 – Maret 1988, Jakarta : BPN,
1988
3.
Boedi
Harsono, S.H., Prof, Hukum
Agraria Indonesia – Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, jilid 1, Hukum Tanah Nasional,
Jakarta : Djambatan, 2003
4.
BPS
Kabupaten Karanganyar, Tahun 2004
5.
Soetrisno
Hadi, MA. Metodologi
Research,
jilid I, Psikologi UGM, Yogyakarta,
1993
6.
Soeryono
Soekanto, S.H., Prof. Dr, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta,
1984
7.
Ronny
Hanitijo Soemitro, S.H., Prof. Dr, Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Ghalia
Indonesia, Jakarta, 1990
8.
Sugiono,
Metode
Penelitian Administrasi,
Bandung : Alfabeta, 2001
9.
Winarno
Surahmad, Pengantar
Ilmiah Dasar Metode Dan Tehnik, Tarsito, Bandung, 1985
Blog Kabar Guruku berisi informasi seputar dunia pendidikan, Info Sekolah, Sertifikasi, Lowongan CPNS dan berita update lainnya. Mulai dari Dunia Selebriti, Kabar Islam, Sport News, sampai info seputar politik dan hukum. Berita tentang Syarat Guru honorer, Info tentang Jadwal Libur Nasional dan Cuti Bersama PNS, Kabar Pencairan gaji PNS, Heboh Pesona Dosen Cantik, hingga dunia Islam tentang Hal-hal Penting yang dilakukan selama bulan Ramadhan akan menghiasi laman Kabar Guruku. Ditambah informasi terbaru dunia olahraga diantaranya hasil pertandingan sepak bola dan serunya balapan MotoGP. Inilah rangkuman isi Blog Kabar Guruku spesial untuk saudara semua...
BalasHapus